Pondok Gede Rasa Makkah”: Ketika Tangis, Pelukan, dan Kursi Roda Menyatu dalam Simulasi Layanan Haji

Pondok Gede Rasa Makkah”: Ketika Tangis, Pelukan, dan Kursi Roda Menyatu dalam Simulasi Layanan Haji
Pondok Gede Rasa Makkah”: Ketika Tangis, Pelukan, dan Kursi Roda Menyatu dalam Simulasi Layanan Haji

PALEMBANG— Malam itu, suasana di Asrama Haji Pondok Gede berbeda dari biasanya.

Bukan cuma kain ihram yang ramai terlihat, tapi juga pelukan hangat, air mata haru, dan kata-kata penghibur yang mengalir tulus dari para petugas.

Sejenak, Pondok Gede seperti berubah menjadi replika Makkah—penuh harapan dan kesungguhan dalam melayani tamu Allah.

Suasana mendadak hening ketika terdengar suara seorang “jemaah” menangis tersesat di tengah simulasi suasana Bandara Internasional King Abdulaziz, Jeddah.

“Tolong… aku di mana?” lirihnya, di selimuti panik dan air mata buatan yang terasa nyata. Para petugas PPIH Arab Saudi pun langsung bergerak.

Bukan dengan panik, tapi dengan ketenangan yang menenangkan.

“Ibu, tenang ya. Sekarang ibu sudah sampai Tanah Suci, insyaAllah semua akan lancar.

Istigfar ya, Bu,” ucap seorang petugas lembut, sambil menggenggam tangan sang “jemaah”.

Perlahan, wajah panik itu berubah menjadi senyum—kecil, tapi penuh rasa percaya.

Simulasi itu hanyalah satu dari sekian banyak adegan dalam gladi posko Bimbingan Teknis Petugas

Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi 1446 H/2025 M yang di gelar Sabtu malam (19/4/2025).

Diselenggarakan oleh Kementerian Agama, ratusan petugas dari berbagai daerah larut dalam latihan yang begitu emosional dan mendalam.

Di sudut lain, seorang “jemaah” lansia tampak kelelahan. Jalannya tertatih, tubuhnya ringkih.

Sekejap saja, kursi roda meluncur ke arahnya, tangan-tangan terulur membantunya duduk dengan nyaman.

Bukan cuma latihan, tapi seolah nyata: kemanusiaan dalam pelayanan haji benar-benar diuji dan di pertajam.

Fasilitator senior, Harun Arrasyid, memimpin jalannya simulasi.

Mulai dari skenario di bandara, pergerakan ke Armuzna (Arafah, Muzdalifah, Mina), lontar jumrah, hingga tahapan murur dan tanazul.

Sebelum ini, para petugas juga di bekali teori lewat metode Tactical Floor Game (TFG) agar tak hanya tahu cara bergerak, tapi juga memahami alur besar pelayanan haji.

“Kita ingin mereka siap secara teori dan praktik. Gladi posko ini mengajarkan mereka bukan hanya melayani, tapi

juga memahami jemaah dengan segala dinamika dan emosinya,” ujar Harun.

Yang membuat latihan ini lebih dari sekadar rutinitas adalah hadirnya skenario ekstrem: ada jemaah sakit, kehilangan paspor, salah kamar, bahkan wafat.

Semuanya di rancang untuk melatih respons para petugas di kondisi paling menantang.

Pelatihan juga menyentuh aspek khusus seperti Safari Wukuf dan Murur, di bimbing oleh fasilitator Slamet.

Ia menjelaskan pentingnya tim gabungan yang melayani jemaah berisiko tinggi, termasuk menangani kondisi psikologis mereka.

“Petugas harus hadir sebagai penolong, bukan sekadar pengatur,” katanya.

Malam makin larut, tapi semangat para petugas tak padam. Gladi posko ditutup dengan simulasi penuh aksi di Armuzna dan evaluasi menyeluruh.

Di balik kelelahan dan peluh yang menetes, ada satu benang merah: kesiapan total demi ibadah haji yang aman, tenang, dan bermakna.

Pondok Gede malam itu memang bukan Makkah. Tapi di sana, cinta, kepedulian, dan kesiapsiagaan untuk melayani jemaah haji Indonesia tumbuh dengan kuat.

Dalam dekapan simulasi, lahirlah semangat baru: melayani tamu Allah dengan hati, bukan hanya prosedur.